The Joy of Mount Salak
The cold air hit our skin as soon as we got off the campus bus. A light and romantic drizzle was still falling and made the air feel even cooler. When we exhaled deeply, white steam came out of our mouths, feeling like we were in Europe in winter.
“You didn’t tell me Mount Salak was this cold, so I didn’t bring a jacket,” protested a student.
I didn’t remind them to bring a jacket because I didn’t expect it to be this cold on Mount Salak. Usually, even though the weather is cool, there’s no need to wear a jacket, let alone a thick jacket. For people who are used to cold air, the weather on Mount Salak is nothing.
The Mount Salak tourist destination can be reached in 1 hour and 10 minutes from Lhokseumawe City, which is 58.7 kilometers away. The scenery along the way is also beautiful with pine forests and green trees that are refreshing to the eyes.
However, this time I don’t want to talk about Mount Salak because I have written about this tourist destination several times on this platform. This time I want to tell you about my two sons who were happy when invited to Mount Salak.
I brought them with students participating in the Merdeka Student Exchange Program who came from various state and private universities from several cities in Indonesia, especially from Java.
I took pictures with a D-100 SLR camera of the joy of my third son, Athari Jufri, with several students. My other son, Rafa el-Jufri, was also there, but he refused to be photographed more like his brother. He needed more time to adjust to the students he had just met.
We spent about five hours on Mount Salak without realizing it. In fact, we only ate, shared stories, and took pictures there. Being in fresh and beautiful nature with joy does make us forget about time.[]
Keceriaan di Gunung Salak
Udara dingin menyergap permukaan kulit begitu kami turun dari bus kampus. Hujan gerimis tipis dan romantik masih turun dan membuat udara terasa makin sejuk. Ketika mengembuskan napas dalam-dalam, uap putih keluar dari mulut, serasa di Eropa pada musim dingin.
“Bapak nggak bilang Gunung Salak dingin begini, saya jadi nggak bawa jaket,” protes seorang mahasiswa.
Aku memang tidak mengingatkan mereka untuk membawa jaket karena tidak menduga akan sedingin ini di Gunung Salak. Biasanya, meskipun cuacanya sejuk, tetapi tidak perlu menggunakan jaket, apalagi jaket tebal. Bagi orang yang terbiasa dengan udara dingin, cuaca di Gunung Salak tidak ada apa-apanya.
Destinasi wisata Gunung Salak bisa dijangkau dalam waktu 1 jam 10 menit dari Kota Lhokseumawe yang berjarak 58,7 kilo meter. Pemandangan di sepanjang perjalanan pun terlihat indah dengan hutan pinus dan pepohonan hijau yang menyegarkan mata.
Namun, kali ini saya sedang tidak ingin menceritakan tentang Gunung Salak karena sudah beberapa kali menulis tentang destinasi wisata tersebut dalam platform ini. Kali ini saya ingin bercerita tentang dua anak lelaki saya yang bergembira ketika diajak ke Gunung Salak.
Mereka saya bawa bersama mahasiswa peserta program pertukaran mahasiswa merdeka yang datang dari berbagai universitas negeri dan swasta dari sejumlah kota di Indonesia, utamanya dari Pulau Jawa.
Saya membidik dengan kamera SLR D-100 keceriaan anak ketiga saya, Athari Jufri, bersama sejumlah mahasiswa. Anak lelaki saya yang lain, Rafa el-Jufri, juga ada di sana, tetapi dia menolak difoto lebih banyak seperti abangnya. Dia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri dengan mahasiswa yang baru ia kenal.
Sekitar lima jam kami menghabiskan waktu di Gunung Salak tanpa terasa. Padahal, kami hanya makan, berbagi cerita, dan berfoto di sana. Berada di alam yang segar dan indah dengan ceria memang membuat kita lupa terhadap waktu.[]